Oleh : Dhani Apriandi, S.H
Alumni STIH PERTIBA
SOSOK pahlawan yang dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855, Dipanegara atau Diponegoro, patut ditiru para pejabat saat ini.
Jauh sebelum perang antara Pangeran Diponegoro beserta penduduk Jawa dan Belanda atau yang lebih dikenal dengan Perang Sabil terjadi, Pangeran Diponegoro sempat akan diangkat menjadi Raja Mataram oleh Ayahandanya, Hamengkubuwono III. Namun dengan segala kerendahan hati, Beliau menolak halus permintaan Ayahandanya tersebut dengan alasan bahwa ia lebih bahagia jika dapat hidup sebagai seorang pangeran dan membaur ditengah-tengah masyarakat.
Hal ini jelas menggambarkan bahwa Beliau adalah sosok makhluk sosial yang sama sekali tidak haus akan jabatan, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Beliau memiliki sifat rendah hati dan tidak tamak atau serakah sekaligus berjiwa kerakyatan.
Sifat lain yang bersemayam didalam pribadi Pangeran Diponegoro adalah sifat rela berkorban demi kepentingan penduduk. Kemarahan Beliau terhadap Belanda pun semakin memuncak ketika Belanda memasang patok-patok perencanaan jalan seluruh areal pemakaman leluhur penduduk, termasuk didalamnya makam leluhur Pangeran Diponegoro. Tindakan inilah yang memunculkan pemberontakan pertama yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro sehingga lambat laun menyebabkan peperangan terhadap Belanda.
Belajar dari Pangeran Diponegoro
Di tahun 2013 ini, sudah sepantasnya para pejabat negara Indonesia belajar meniru dan menerapkan karakteristik yang ada pada Pangeran Diponegoro agar dapat menggugah dan merubah pandangan serta pemikiran rakyat sipil yang selama ini telah terbebani dan merasakan penderitaan berkepanjangan akibat praktek yang bersumber dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Tidak berlebihan kiranya Pangeran Diponegoro, dengan sedemikian karakteristiknya, dizaman sekarang ini di ibaratkan sebagai pejabat anti korupsi. Banyak hal positif yang kiranya dapat dipetik dari Beliau. Tentunya para pejabat negara dapat memetik sikap mental Beliau yang senantiasa tidak haus akan jabatan, sekalipun jabatan itu diberikan secara halal oleh Ayahandanya.
Prinsip “cukup dengan yang ada sekarang dan mengoptimalkannya” adalah sebuah prinsip tepat untuk merubah wajah negara ini. Memang, bukan menjadi persoalan bila seorang pejabat menginginkan jabatan yang lebih tinggi dari yang ada padanya sekarang. Namun, apakah pantas menginginkan jabatan lebih tinggi sedangkan tugas dan fungsi pada jabatan yang sedang dijalankan sekarang belum optimal, bahkan masih jauh dari optimal?
Di samping itu, yang harus dipelajari secara perlahan dari Pangeran Diponegoro adalah membangun sikap protektif dalam menjaga kebudayaan dan kebiasaan asli dari daerahnya. Karakteristik Beliau yang satu ini dipandang cukup mudah untuk dipelajari namun cukup sulit untuk dilakukan. Mengingat globalisasi telah memasuki berbagai wilayah Indonesia, maka tak heran bila diperlukan kerja keras ekstra untuk menerapkannya. Sudah selayaknya para pejabat negara terlebih dahulu berperan aktif dalam hal ini, karena apabila masyarakat yang memulai peran aktif, maka dikhawatirkan pemerintah hanya akan selalu bermalas-malasan dan mendukung tindakan itu dengan setengah hati.
Sikap rendah hati, merakyat dan rela berkorban pun juga tidak kalah pentingnya untuk ditumbuh-kembangkan ke dalam perasaan dan pemikiran setiap pejabat negara, karena sejatinya pejabat negara adalah penjelmaan dari unsur tekad, semangat dan keinginan positif masyarakat. Yang harus disadari adalah bahwa tanpa masyarakat, sudah tentu tidak akan ada pejabat.
Oleh karena itu, sudah selayaknya setiap pejabat negara harus menanamkan dan memelihara ketiga bibit karakter ini agar dapat menciptakan mindset baru kedalam pikiran masyarakat. Sudah tentu bahwa sikap rendah hati akan menggiring setiap pejabat negara kepada sikap tidak mudah tersinggung dan lapang dada. Sedangkan sikap merakyat merupakan kunci keberhasilan seseorang sebagai makhluk sosial untuk dapat menjalin dan membangun hubungan emosional positif terhadap masyarakat.
Sikap merakyat akan menghasilkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Sementara, sikap rela berkorban adalah sebuah sikap nyata yang akan menciptakan kecintaan dan kasih sayang dari masyarakat. Apabila kesemua ini tetap dijaga, maka keseluruhan energi positif yang muncul dari implementasi ini lama kelamaan akan menggenerasi dan memicu kebudayaan serta kebiasaan baru yang positif pula.(*)